Bandeng Presto Plus Rasa Malu
Siapapun yang pernah menggunakan kereta api jarak jauh, salah satu gerbong yang paling dicari tak lain kereta makan (restoka). Ya, di gerbong inilah penumpang bisa memesan aneka macam panganan, juga sekadar minuman ringan untuk mengobati kebosanan. Pengelolaan restorka memang sudah jauh lebih profesional. Panganan dan minuman yang disediakan pun cukup beragam meski hampir seluruhnya jenis siap saji. Biasanya, penumpang yang datang ke restorka memesan panganan atau minuman pada petugas yang selalu siap melayani.
Pengalaman agak berbeda dialami ketika sebelum pandemi penulis sempat berlibur ke Semarang dan sekitarnya. Setelah puas menjelajahi Lasem, Kudus, dan Semarang, bersama dua orang teman, sampailah untuk kembali ke Jakarta. Terpaksa memilihi kereta karena salah seorang teman agak phobia ketinggian, alias takut terbang (pesawat). Sebelum berangkat dari Stasiun Tawang menuju Gambir (Jakarta), kami sempat membeli oleh-oleh khas Semarang, Bandeng Presto.
Setelah beberapa jam berjalan dengan kereta Argo, kelas ekskutif, kira-kira menjelang Mabghrib, perut mulai terasa lapar. Maka, kami pun sepakat untuk menyantap Bandeng Presto yang semula untuk oleh-oleh. Tapi, karena tidak ada nasi, maka kami pun beranjak ke restorka sambil membawa Bandeng Presto. Sampai di restorka, kami pun memesan nasi saja, tanpa lauk lain. Air mineral pun kami bawa sendiri. Kami pun makan dengan lahap sembari bergurau. Saking asiknya menikmati bandeng presto, tanpa sadar, sejumlah pasang mata memperhatikan tingkah laku kami.
Kami baru menyadari situasi itu ketika selesai menyantap bandeng presto. Dua petugas restorka memperhatikan kami dengan pandangan yang mungkin agak kesal. Dua penumpang lain, yang sedang menikmati kopi, pun sepertinya begitu. Ya, kami baru sadar kalau saat itu, kami benar-benar hanya memesan nasi, dan mungkin yang membuat pandangan kesal itu muncul adalah, kami juga meminjam tiga buah piring. Hanya memesan nasi, pinjam piring, dan berisik pula saat makan. Inilah yang sepertinya menjadi sumber pandangan kesal tadi. Menutupi perasaan malu, kami pun memesan kopi, sembari menitip buang sampah sisa panganan yang disantap. Harga nasi tanpa lauk memang tak seberapa, tapi malunya bahkan sampai di Gambir pun serasa tak hilang.